OLEH: DJONO W OESMAN / rmol
SETELAH isu 'Ijazah Palsu Jokowi', ganti 'Gibran Beli Ijazah'. Isu Jokowi ditanggapi serius Rektor UGM, Prof Dr dr Ova Emilia di konferensi pers, sedangkan Gibran, enteng: "Beli di Shopee, free ongkir." Tapi mengapa?
Mengapa, Presiden Jokowi diganggu setelah delapan tahun jadi Presiden RI? Dan, mengapa gangguannya sesepele itu? Apa tidak ada yang lebih canggih?
Ditarik waktu mundur, ini dimulai Bambang Tri Mulyono, kelahiran Blora, Jateng, 4 Mei 1971. Mengarang buku berjudul, "Jokowi Undercover". Demi menghambat Capres Jokowi di Pilpres 2014.
Isinya: Jokowi menggunakan ijazah palsu, sejak SD sampai lulus Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada (UGM). Terbukti kemudian, isi buku itu bohong.
Bambang Tri Mulyono, SD sampai SMA di Blora. Ia putus kuliah dari Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman. Artinya, bukan orang bodoh.
Karena bukunya bohong, ia ditangkap Bareskrim Polri, ditahan sejak Jumat, 31 Desember 2016. Lantas diadili.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Blora, pada Senin, 29 Mei 2017 menjatuhkan vonis hukuman tiga tahun penjara. Bambang langsung masuk penjara, Lembaga Pemasyarakatan II-B Slawi. Ia bebas bersyarat, Senin, 1 Juli 2019, setelah menjalani dua per tiga masa hukuman.
Tau-tau, Senin, 3 Oktober 2022 Bambang mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Nomor perkara: 592/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst klasifikasi perkara: Perbuatan melawan hukum.
Isi gugatan, sama juga dengan isi bukunya, dulu. Ijazah palsu.
Tergugat I, Presiden Jokowi. Tergugat II, KPU, karena mau menerima Capres ijazah palsu di Pilpres 2014. Tergugat III, MPR RI. Tergugat IV, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Bongol banget. Bongol, Bahasa Surabaya untuk orang berani, keras kepala, berkonotasi negatif. Karena, sudah dihukum untuk kasus yang sama, ia lakukan lagi.
Ini bukan "ne bis in idem". Istilah hukum: Orang tidak bisa diadili (lagi) untuk perkara yang sama. Sebab, istilah Bahasa Latin itu berlaku untuk: Perkara yang sama, tapi sudah dihentikan perkaranya, lalu diadili lagi.
Gugatan itu lau ditunggangi warganet. Mencuit tentang perbedaan tulisan di ijazah Jokowi. Antara ijazah milik warganet itu, dengan ijazah Jokowi, yang sama-sama dikeluarkan UGM.
Langsung, Rektor UGM, Ova Emilia menggelar konferensi pers di Kampus UGM, Selasa, 11 Oktober 2022. Mungkin, ini dianggap serius. Maka, ditanggapi serius.
Intinya, Rektor UGM Ova menyatakan, ijazah Joko Widodo, lulusan Fakultas Kehutanan, UGM, 1985, asli. Sah. Soal tulisan di ijazah, Ova mengatakan: "Sebelumnya, pada waktu-waktu sebelum adanya computerized, itu penulisan ijazah itu menggunakan tulis halus. Tidak seperti sekarang."
Ditimpali Dekan Fakultas Kehutanan, UGM Sigit Sunarta, mengatakan:
"Memang, waktu itu belum ada penyeragaman. Kalau sekarang ada format khusus. Sehingga memang ada perbedaan antara satu ijazah dengan lainnya. Tapi kita tetap mempunyai dokumen aslinya. Ijazah Bapak Joko Widodo, asli."
Ee... isu pindah ke putera Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo. Juga dituding ijazah palsu. Tepatnya, beli ijazah.
Warganet, Ahmad Junaidi via Twitter, 11 Oktober 2022, pukul 05.12 PM, mencuit: "Ijazah Gibran beli dari luar negeri, tuh."
Gibran, sejak SMP sekolah di Singapura.
Selanjutnya pada tahun 2007 Gibran lulus dari Management Development Institute of Singapore, 2007. Dilanjut ke University of Technology Sydney, Australia, lulus 2010.
Setidaknya, warganet itu sudah melacak, bahwa Gibran lulusan luar negeri. Maka, jawab Gibran, itu tadi, enteng saja: "Beli di Shopee, dapat cashback dan free ongkir."
Tidak ada perlunya, University of Technology Sydney merespons. Ini mainan mode Indonesia. Mode tipis-tipis. Merujuk data Badan Pusat Statistik hasil sensus 2020, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia 8,7 tahun (pria) dan 8,5 tahun (wanita). Gampangnya: Rata-rata kita, putus sekolah di kelas tiga setingkat SMP. Sehingga ijazah jadi 'makanan' medsos.
Mengapa itu terjadi? Toh, masa jabatan Presiden Jokowi tinggal dua tahun lagi. Apakah 'dendam politik' di 2014 yang belum tuntas? Atau mencegah kelompok politik Jokowi maju ke Pilpres 2024? Siapa kelompoknya?
Mungkin, ini efek gaya pental equilibrium. Dari Orde Baru yang otoriter. Ke Orde Reformasi yang demokratis. Dua bentuk berlawanan.
Ciri negara otoriter, dipimpin kepala negara gampang nggebuk. Ada protes sedikit, digebuk. Apalagi, menyinggung kepala negara, digebuk-buk. Maka, rakyat takut.
Pemimpin negara otoriter, cenderung terjadi kultus individu. Sudah ada sejak abad ke-1, Kaisar Augustus dari Prima Porta (Italia), Mesir Kuno, Kekaisaran Jepang, Suku Inca, Aztec, Tibet, Siam (kini Thailand), Kaisar Romawi. Semua dikultuskan. Oleh orang-orang dekat pemimpin itu sendiri. Dicitrakan, jadi kultus.
Thomas A. Wright dalam bukunya, "What is character and why it really does matter" (2013) disebutkan:
"Fenomena kultus individu mengacu pada citra seseorang ke publik yang ideal. Sampai, orang itu seperti dewa. Dari seorang individu yang secara sadar dibentuk melalui konstanta propaganda, dan paparan media massa."
"Hasilnya, seseorang (bersama geng-nya) dapat memanipulasi orang lain sepenuhnya berdasarkan pengaruh kepribadian publik. Perspektif kultus individu, fokus pada citra eksternal seseorang (pemimpin) yang seringkali dangkal. Itu hasil rekayasa tokoh publik untuk menciptakan citra ideal dan heroik."
Contoh di abad ke-19, banyak. Lenin, dilanjut Joseph Stalin, Benito Mussolini, Adolf Hitler, Mao Zedong, Ferdinand Marcos, Kim Yong Un. Kultus individu.
Lawan kata kultus individu: Pembusukan individu (pemimpin).
Indonesia dari negara otoriter di Orde Baru, mantul ke reformasi. Bandul berayun ke arah sebaliknya. Mantul. Rakyat, dari sangat takut jadi sangat berani. Maka, Presiden RI (kecuali BJ Habibie, bagian Orde Baru) mulai KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, SBY, Jokowi. Pembusukan individu.
Kalau kultus individu hasil rekayasa geng pemimpin, pembusukan individu juga rekayasa, oleh geng lawannya pemimpin.
Dalam film serial semi-dokumenter "Pulling the Thread" (tayang di World Channel, sejak 1 April 2020 sampai sekarang), pembusukan individu pemimpin disebut "Teori Konspirasi". Istilah yang paling suka disebut warganet kita.
Pemegang gelar Master Jurnalistik dari Harvard Extension School, Amerika, Meghan Smith, mengurai "Pulling the Thread" pembusukan individu pemimpin dalam Teori Konspirasi, ada lima:
1) Kalah dalam pemilihan (Pemilu, Pilpres, Pilkada) adalah fondasi terbaik bagi munculnya teori konspirasi liar.
Film Pulling The Thread menampilkan studi yang membuka mata penonton, menggambarkan bahwa: Partai politik pemenang pemilihan, menyimpan banyak teori konspirasi. Tapi partai yang kalah, punya teori konspirasi yang lebih banyak lagi.
2) Teori konspirasi berkembang dalam ketidakstabilan politik. Atau ketika bangsa menghadapi tragedi kolektif.
"Ketika rakyat kelas bawah merasa dikhianati oleh kelas atas dan proses politik, maka masyarakat bawah menganggap, ada teori konspirasi yang diciptakan kalangan atas," kata Prudy Gourguechon, mantan presiden American Psychoanalytic Association, yang tampil di film tersebut.
3) Otak kita suka mencari pola, untuk memproses trauma historis, bahkan untuk sesuatu yang tidak ada.
Manusia purba adalah pemburu dan pengumpul, mengandalkan otak untuk membantu bertahan hidup. Maka, manusia terbiasa menggunakan patternicity, atau kemampuan menemukan makna dalam informasi yang bermakna, atau tidak berarti, untuk mencari makanan. Di manusia modern: Mencari uang.
4) Ketika pemerintah menyimpan rahasia dan menyembunyikan, konspirasi berkembang. Tentu, pemerintah menyimpan semua jenis rahasia, untuk melindungi keamanan nasional.
Tetapi ketika rahasia terungkap, orang-orang yang percaya konspirasi menggunakan pengungkapan itu untuk mendukung teori mereka sendiri. "Nah... bener kan, ada konspirasi."
5) Polarisasi politik dan media sosial mempengaruhi cara kita dapat informasi, lalu membentuk opini. Ujung teori konspirasi adalah cara manusia mencari makan.
Teori konspirasi bukan hal baru. Film Pulling The Thread memaparkan: Berkat otak dan evolusi kita, konspirasi telah ada, sejak kita masih purba.
Jadi, pembusukan individu pemimpin, bisa dianggap bagian dari teori konspirasi. Ujung-ujungnya, si pembikin konspirasi sedang cari duit. Melalui rebutan power.
(Penulis adalah wartawan senior)