Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

MK: Larangan Pelanggar HAM Maju Capres Berlaku jika Ada Putusan Inkrah

Sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (23/10/2023).

Mahkamah Konstitusi (MK) menilai bahwa larangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) seorang pelanggar HAM yang secara implisit diatur di dalam Pasal 169 huruf d Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) baru bisa berlaku jika ada putusan berkekuatan hukum tetap (inkrah).

"Penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa seandainyapun yang diinginkan para pemohon jenis tindak pidana berat yang dimaksudkan untuk dimasukkan dalam norma Pasal 169 huruf d UU 7/2017, seyogianya hal tersebut harus telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," ujar hakim konstitusi Daniel Yusmic Foekh membacakan pertimbangan putusan gugatan nomor 102/PUU-XXI/2023 yang ditolak pada sidang pembacaan putusan, Senin (23/10/2023).

"Hal ini penting karena apabila keinginan para pemohon dikabulkan maka justru akan berpotensi terjadinya pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence)," kata Daniel.

Perkara ini diajukan sejumlah warga bernama Wiwit Ariyanto, Rahayu Fatika Sari, dan Rio Saputro, dengan menyertakan 98 advokat.

Mereka ingin agar MK mengubah Pasal 169 huruf d Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) guna melarang pelanggar HAM maju sebagai capres.

Dalam petitum gugatannya, mereka meminta supaya larangan itu berbunyi "tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi, tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran HAM berat, bukan orang yang terlibat dan/atau menjadi bagian peristiwa penculikan aktivis pada tahun 1998, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang anti demokrasi, serta tindak pidana berat lainnya.".

Mereka juga mengutip Pasal 7A UUD 1945 yang mengatur tentang pemberhentian presiden dan wakil presiden apabila "terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden".

Menurut Mahkamah, Pasal 169 huruf d melalui frasa "tindak pidana berat lainnya" justru telah memiliki makna yang sangat luas.

"Yaitu semua jenis tindak pidana berat, termasuk tindak pidana yang dimaksudkan oleh para pemohon agar dimasukkan dalam perluasan pemaknaan norma Pasal 169 huruf d UU 7/2017, sebagaimana petitum permohonan para pemohon," jelas Daniel.

Menurut hakim Daniel, mengabulkan gugatan para pemohon justru dapat melemahkan kepastian hukum yang sudah ada dan melekat pada norma yang bersangkutan.

"Terlebih, apabila dicermati lebih jauh dalil-dalil permohonan para pemohon, khususnya berkenaan dengan keinginan untuk memasukkan atau menambahkan jenis tindak pidana berat sebagaimana dalam petitum permohonannya, tanpa memberikan penegasan apakah jenis tindak pidana berat yang dimaksudkan cukup dengan adanya anggapan, asumsi, dugaan, telah ada penyelidikan, penyidikan atau bahkan telah ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap," ungkap dia.

Ketidakjelasan ini justru dianggap akan menambah kerumitan tersendiri pada waktu akan menerapkan norma hukum yang bersangkutan.

Sumber Berita / Artikel Asli : kompas 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - GentaPos.com | All Right Reserved