Eks hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna buka suara soal adanya sejumlah gugatan pengujian syarat batas usia capres-cawapres yang telah dimaknai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/2023.
Dua gugatan judicial review Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang pemilihan umum tersebut telah terdaftar di MK. Perkara 141/PUU-XXI/2023 dimohonkan oleh mahasiswa Nahdlatul Ulama (NU) Brahma Aryana dan Perkara 145/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana bersama Zainal Arifin Mochtar.
Palguna memandang aturan syarat usia calon pemimpin Indonesia itu harus dikembalikan seperti semula, yakni hanya menyaratkan usia 40 tahun.
Sebab, Palguna menjelaskan, urusan syarat usia capres-cawapres itu merupakan open legal policy atau kewenangan pembentuk UU, yakni DPR.
"Menurut saya justru harus dikembalikan ke posisi awalnya, 40 tahun tanpa embel-embel. Seperti putusan yg menolak itu, karena itu merupakan legal policy pembentuk undang-undang," kata Palguna, kepada Tribunnews.com, Rabu (15/11/2023).
Baca juga: Anwar Usman Merasa Difitnah Terkait Perkara Batas Usia Cawapres, Masinton Duga Ada Bekingan Pusat
Untuk diketahui, Pemohon Brahma Aryana meminta norma 'berpengalaman sebagai kepala daerah' dalam Putusan MK 90/2023 dikerucutkan menjadi minimal di tingkat provinsi atau gubernur.
"Mengapa mesti dikerucutkan menjadi 'minimal gubernur'? Apa alasan konstitusionalnya? Bukankah UUD tidak menentukan syarat umur tertentu dan bukankah secara historis nyata-nyata soal umur itu diserahkan pengaturannya pembentuk undang-undang?" jelas Palguna.
Sementara itu, Palguna enggan menjawab soal kemungkinan MK mencabut putusan 90/2023.
Meski demikian, ia menekankan, putusan MK yang menolak perubahan batas minimal usia capres-cawapres adalah hal yang benar.
"(Soal MK berpotensi cabut Putusan 90/2023) saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu, karena menurut saya putusan MK yang menolak itulah yang benar (yang mengatakan bahwa soal umur adalah open legal policy pembentuk UU)."
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait batas usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum lewat sidang pleno putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta pada Senin (16/10/2023).
Putusan ini terkait gugatan dari mahasiswa yang bernama Almas Tsaqibbirru Re A dengan kuasa hukum Arif Sahudi, Utomo Kurniawan, dkk dengan nomor gugatan 90/PUU-XXI/2023 dibacakan oleh Manahan Sitompul selaku Hakim Anggota.
Pada gugatan ini, pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman, di dalam persidangan, Senin (16/10/2023).
Sehingga Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi:
"Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."
Namun, putusan tersebut kontroversial. Bahkan, dinilai tidak sah oleh sejumlah pakar, karena adanya dugaan konflik kepentingan antara Ketua MK Anwar Usman dengan keponakannya, yakni putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabumingraka (36).
Terkait hal itu, pemohon perkara 90/PUU-XXI/2023, Almas Tsaqqibbiru, merupakan penggemar dari Gibran, yang juga menjabat Wali Kota Solo.
Adapun putusan tersebut diduga memuluskan langkah Gibran maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024 mendatang.
Imbasnya, saat ini MKMK telah menerima sebanyak 21 laporan terkait dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim terkait putusan tersebut.
MKMK juga telah memeriksa semua pelapor dan para hakim terlapor, hingga putusan terkait dugaan pelanggaran etik itu menyatakan Anwar Usman melanggar kode etik berat dan memberi sanksi pencopotan jabatannya dari Ketua MK.